Deretan Pegunungan Sewu: Puncak Bukit Mangunan 200 mdpl
Sebelum subuh kami sudah melesat menuju daerah Dlingo, Jogjakarta. Dingin, gelap, sepi. Tiga kata yang mempu menggambarkan keadaan saat itu. Saya sudah bersiap dengan jaket favorit yang berwarna hijau army, bersiap menyambut dingin di puncak bukit nanti.
Kami sengaja berangkat dari asrama dosen di UGM sebelum subuh karena tujuan awalnya adalah untuk berburu kabut, awan, dan matahari terbit. Selain itu juga perjalanannya lumayah jauh…
Ketika sudah memasuki kawasan mangunan, jalanannya sangat sempit, kiri kanan hutan dan yang lebih mengerikan, samping kiri dan kanan adalah jurang. Sedikit saja salah membelokkan, bisa meluncur bebas di jurang itu. Jalanan yang berkelok dan turun naik membuat isi kepala mengayun, sehingga saat perjalanan saya hanya dapat berdiam diri berusaha menanamkan senyuman di kepala saya. Kalau tidak, isi perut bisa keluar dengan riangnya..
Singkat cerita, akhirnya kami sampai di Mangunan. Nggak heran sih, sebelum subuh, orang-orang juga sudah ramai untuk bersiap menaiki puncak , tentunya berburu hal yang sama dengan apa yang saya tulis di atas. Jaket hijau yang saya kenakan serasa tak ada fungsinya saat itu, dingin mulai menusuk-nusuk dan saya hanya bisa meniup-niupkan udara ke telapak tangan saya dan sibuk memandang orang-orang yang lewat dihadapan saya. Kata teman saya yang berasal dari Bogor, sekitar 10 menit an lagi, jalan menuju puncak sudah dibuka dan sudah boleh untuk menanjak ke atas. Tentunya kami tidak sendiri, ada orang lain juga yang ingin menuju puncak.
Setelah mendapat izin untuk berjalan menuju puncaknya, kami pun bersiap untuk membawa barang apa saja yang ingin dibawa ke atas. Sebisa mungkin jangan bawa banyak-banyak tas atau barang berat apapun itu, maksimalkan barang yang ingin dibawa, atau bawa aja tas selempang kecil. Tentu agar perjalanan menuju puncak bisa lebih mudah dan ringan.
Di sepanjangan jalan, alunan suara jangkrik saling sahut-sahutan menemani setiap langkah kami, semilir angin yang menambah kalutnya dingin pun tetap setia memeluk tubuh. Dari kejauhan sayu-sayu terlihat segumpal awan yang melayang layang di depan mata, begitu dekat sekali rasanya. Hawa dingin juga mulai bertambah 3 kali lipat dibandingkan saat awal kedatangan.
Jauh mata memandang terlihat deretan Pegunungan Sewu seperti berjubah awan putih yang sangat anggun sekali. Awalnya langit masih hitam, kemudian berubah menjadi biru gelap, berubah lagi dan yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Siapa lagi kalau bukan fajar yang telah keluar dari sangkarnya. Namun, teriknya fajar saat itu masih tertutup kabut tebal di puncak. Dingin nya pun sudah mulai berkurang, namun tetap bisa membuat telapak tangan beku.
Langit di puncak sudah mulai terang, malam berganti dengan pagi, yang tak berganti hanyalah dingin, tapi rasa dingin ini kian terlupakan , berganti dengan hangatnya sapaan, senyuman yang mulai terpancar dari orang-orang yang juga berdiri di puncak ini, lemparan canda dan tawa orang-orang dikejauhan, semakin menambahkan kehangatan. Selain bisa memandangi deretan Pegunungan Sewu, kita juga bisa melihat hamparan Sungai Oyo yang membelah perbukitan. Cantik sekali.
Setelah puas berburu awan dan kabut, kami memutuskan untuk turun kebawah dan memesan semangkuk mie dan segelas teh panas. Meneguk semangkuk mie dan segelas teh panas di bawah puncak terasa lebih nikmat daripada biasanya, entah karena faktor lapar atau memang karena suasana pagi ini yang begitu menakjubkan, entahlah.
Dari perjalanan ini saya mendapatkan satu pelajaran lagi, bahwa Allah menciptakan dunia yang luas ini bukan hanya untuk dinikmati keindahannya, tapi juga untuk mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang tersaji. Meromantisasikan kehidupan, sekecil apapun keindahan itu, jika kita selalu meromantisasikannya, kita mudah bahagia dari hal-hal kecil yang berada di sekitar kita.
“Bukit dan juga gunung, ia mengajarkan bahwa keindahan, kenikmatan, dan kepuasan tidak bisa didapatkan dengan hanya berdiam diri melihat ke atas, namun untuk menjadikannya nyata kita harus berteman dengan perjuangan yang lebih untuk dapat berdiri diatasnya dan menikmati semua itu”
With Love, Mangunan