Cerita Tentang Lembata
Mungkin saat ini, kita sudah terlalu jauh terpapar dan tenggelam dalam nikmatnya kemajuan teknologi. Semua yang kita butuh dan inginkan, bisa diraih walaupun berdiam diri dirumah. Bisa membeli barang dengan sekali sentuhan atau bisa kenyang, hanya dengan ongkang-ongkang kaki sambil menunggu pesanan datang. Iya itu Indonesia, jika kita lihat dari satu sudut pandang di kota-kotanya yang besar. Tapi tidak di Lamalera, suatu desa di Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Di Lamalera, kita bisa menemui pasar yang sistem jual-beli nya masih menggunakan sistem barter. Sistem barter yang masih sangat dijaga di wilayah ini dimulai sekitar pukul 08.00 pagi. Ini artinya sebelum pukul 08.00 pagi waktu setempat, Pasar Lamalera masih memberikan kesempatan untuk melakukan transaksi menggunakan uang. Pada kesempatan itu, biasanya dimanfaatkan untuk mereka yang bukan berprofesi sebagai petani ataupun nelayan, contohnya saja para pegawai negeri.
Pasar Lamalera buka setiap hari jumat dan sistem barter akan dimulai pada pukul 08.00 pagi. Uniknya di pasar ini, terdapat seorang `mandor pasar` yang tugasnya memantau agar para pedagang dan pembeli tidak memulai sistem barter sebelum waktu yang telah ditentukan. Dalam rentang waktu itu juga, mandor pasar yang lainnya bertugas untuk menarik pajak atau retribusi dari para pedagang. Pajak atau retribusi ini bisa berbentuk uang maupun barang. Jika pajak atau retribusi ini sudah terkumpul, maka waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, tepat pukul 08.00 pagi, petugas di Pasar Lamalera mulai meniupkan peluitnya, ini sebagai tanda bahwa kegiatan tukar-menukar dengan barang atau yang kita kenal dengan sistem barter pun telah dimulai. Pada saat itu tiba, berapa pun nominalnya, uang tidak lagi berlaku.
Di Lembata, selain adanya Pasar Lamalera yang menggunakan sistem barter, terdapat juga Pasar Leworaja dengan cerita yang sama. Bedanya, di Leworaja dekat dengan komunitas muslim, sedangkan di Lamalera dekat dengan komunitas nasrani. Kalau kata bang Dandhy dalam film dokumenternya “…Miniatur Indonesia, lebih terasa di Pasar Leworaja…”. Hal ini terjadi karena perbedaan agama dan keyakinan dipertemukan dalam wadah ini. Sebagian besar nelayan di Leworaja ini adalah muslim, yang menjajakan hasil laut. Sedangkan masyarakat nasrani yang tinggal di daerah pegunungan menjajakan hasil perkebunannya. Sangat indah bukan ?
Itulah salah satu alasan mengapa aku sangat ingin mengelilingi nusantara ini. Terkadang, bukan karena indahnya hamparan laut atau gagahnya pegunungan. Tetapi tentang bagaimana kita menemukan dan mengartikan suatu perbedaan itu sendiri. Dan sadar bahwa, Tuhan menciptakan perbedaan bukan untuk berlomba siapa yang paling baik atau siapa yang paling suci. Tapi Tuhan menciptakan perbedaan, karena Dia ingin kita melihat warna-warna yang beragam dan itu menjadi suatu keindahan tersendiri yang terhampar di muka bumi.
Hal lain yang bisa kita lihat dari pasar di Lembata ini adalah penggunaan kantong plastik yang masih jarang sekali ditemui. Walapun masih ada, namun jumlahnya tidak sebanyak penggunaan kantong plastik di pasar-pasar perkotaan. Masyarakat di Lembata lebih memilih menggunakan tas belanja anyam, hingga membawa ember ataupun baskom sebagai wadah untuk barang belanjaannya. Sudah pasti, dengan cara seperti ini lebih ramah bagi lingkungan.
Pasar Leworaja tutup pada tengah hari. Para masyarakat di pegunungan, pulang dengan membawa hasil laut dan masyarakat di pesisir, pulang dengan membawa hasil bumi yang sama-sama mereka dapatkan dari hasil tukar-menukar barang di pasar itu. Dan lagi, kalau kata bang Dandhy dalam film dokumenternya “…Saling ketergantungan antar dua komunitas geografis ini telah terjadi ratusan tahun. Dan tak ada yang tau pasti, sampai kapan pasar ini akan bertahan, sebelum diambil alih sepenuhnya oleh sistem ekonomi yang serba uang…”
Sejauh ini, kesimpulan yang bisa diambil dari adanya pasar barter di Lembata adalah mengajarkan aku bahwa suatu keeratan dalam ikatan sosial, perbedaan budaya, adat dan juga keyakinan, bisa saling diwujudkan hanya dengan cara yang sangat sederhana. Dan ini menunjukkan wajah asli dari Indonesia dengan keberagamannya yang kaya raya. Dilestarikan, jangan dirusak, jangan digerus.
-Tulisan ini terinspirasi dari dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru
11.06.22